Sejarah Penyimbang dalam Tradisi Sai Batin dan Pepadun : SERI 1: Asal Usul dan Filosofi Gelar Penyimbang Oleh : Mohammad Medani Bahagianda

| 42x dilihat | Berita

Sejarah Penyimbang dalam Tradisi Sai Batin dan Pepadun : SERI 1: Asal Usul dan Filosofi Gelar Penyimbang Oleh : Mohammad Medani Bahagianda

jdih.lampungprov.go.id, BANDAR LAMPUNG – Warisan Budaya Adat Lampung

Masyarakat adat Lampung, sebagai bagian dari etnis Melayu-Polinesia di wilayah Sumatera bagian selatan, memiliki kekayaan budaya yang sangat kompleks dan mengakar kuat dalam kehidupan sosial, politik, dan spiritual mereka.

Salah satu aspek paling penting dalam sistem sosial masyarakat Lampung adalah keberadaan dua sistem adat besar, yakni Sai Batin dan Pepadun. Kedua sistem ini tidak hanya membentuk kerangka tatanan sosial masyarakat, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai filosofis yang dalam mengenai kehidupan, kebersamaan, dan spiritualitas.

 

 

Dalam konteks ini, gelar “Penyimbang” menjadi simbol penting dalam struktur kepemimpinan dan representasi budaya masyarakat Lampung.

Gelar Penyimbang bukan sekadar gelar kehormatan, tetapi merupakan institusi budaya yang memuat filosofi hidup, tata nilai sosial, serta tanggung jawab moral dan spiritual terhadap masyarakat adat.

 

Dalam kedua sistem, baik Sai Batin maupun Pepadun, gelar ini memiliki peran strategis sebagai penyeimbang struktur sosial dan pengayom nilai-nilai adat. Esai ini bertujuan untuk mengupas secara mendalam asal usul dan filosofi gelar Penyimbang dalam konteks adat Lampung, dengan menyoroti akar historis, nilai simbolik, serta perbedaannya dalam dua sistem besar: Sai Batin dan Pepadun.

 

Makna dan Filosofi Gelar Penyimbang.

Secara etimologis, kata “Penyimbang” berasal dari kata dasar “simbang” yang berarti seimbang atau adil. Dalam konteks budaya Lampung, gelar ini mencerminkan posisi seseorang yang mampu menjaga keharmonisan sosial, menegakkan keadilan adat, serta menjadi rujukan dalam penyelesaian konflik.

Gelar ini biasanya diberikan kepada seseorang yang telah memenuhi persyaratan adat tertentu, baik secara keturunan, kemampuan intelektual, spiritual, maupun pengabdian sosial terhadap komunitasnya.

Secara filosofis, Penyimbang adalah representasi manusia yang utuh dalam konteks adat Lampung: bijaksana, adil, berwibawa, serta memiliki ikatan spiritual yang kuat dengan leluhur dan alam.

Penyimbang adalah perpanjangan tangan dari nilai-nilai adat yang turun temurun diwariskan, menjadi pengikat antara masa lalu, masa kini, dan masa depan masyarakat adat. Ia adalah penjaga nilai-nilai luhur seperti pi’il-pusanggiri (harga diri), nemui-nyimah (keramahtamahan), nengah-nyappur (keharmonisan sosial), dan sakai-sambaian (gotong-royong).

 

 

Nilai-nilai moral yang melekat dalam gelar Penyimbang mengandung ajaran tentang pentingnya kejujuran, tanggung jawab, serta keikhlasan dalam memimpin. Gelar ini bukanlah semata-mata status sosial, tetapi sebuah panggilan untuk menjalankan peran sosial-spiritual demi keseimbangan masyarakat.

Dalam masyarakat adat Lampung, seseorang yang menyandang gelar ini harus mampu menjadi teladan dalam tutur kata, sikap hidup, serta keputusan-keputusan adat yang diambil.

Spiritualitas yang melekat pada gelar ini juga sangat penting. Seorang Penyimbang diyakini memiliki keterhubungan spiritual dengan leluhur dan kekuatan alam yang diyakini menjaga komunitas. Oleh karena itu, proses pengangkatan gelar Penyimbang biasanya disertai dengan ritual-ritual adat yang melibatkan doa, persembahan, dan pengesahan dari tokoh adat serta masyarakat secara kolektif. Hal ini memperlihatkan bahwa gelar Penyimbang bukan sekadar simbol kekuasaan, tetapi juga mandat spiritual yang harus dijaga dengan integritas tinggi.

 

 

Latar Belakang Historis Gelar Penyimbang.

 

Sejarah gelar Penyimbang dapat ditelusuri sejak masa awal terbentuknya komunitas adat Lampung, jauh sebelum kedatangan kolonialisme di wilayah Sumatera.

Tradisi lisan masyarakat Lampung menyebutkan bahwa gelar ini merupakan warisan dari sistem kepemimpinan kuno yang berbasis pada kekerabatan dan kebijaksanaan lokal. Dalam naskah-naskah lama seperti Kuntara Raja Niti dan tambo-tambo adat yang diwariskan turun-temurun, Penyimbang disebut sebagai figur sentral dalam struktur marga (suku) dan tiyuh (kampung).

Logo

 

Beranda SOSIAL DAN BUDAYA

SOSIAL DAN BUDAYA

Sejarah Penyimbang dalam Tradisi Sai Batin dan Pepadun : SERI 1: Asal Usul dan Filosofi Gelar Penyimbang Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

Penulis [email protected] -28 Juni 20250

 

 

nataragung.id – BANDAR LAMPUNG – Warisan Budaya Adat Lampung

Masyarakat adat Lampung, sebagai bagian dari etnis Melayu-Polinesia di wilayah Sumatera bagian selatan, memiliki kekayaan budaya yang sangat kompleks dan mengakar kuat dalam kehidupan sosial, politik, dan spiritual mereka.

Salah satu aspek paling penting dalam sistem sosial masyarakat Lampung adalah keberadaan dua sistem adat besar, yakni Sai Batin dan Pepadun. Kedua sistem ini tidak hanya membentuk kerangka tatanan sosial masyarakat, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai filosofis yang dalam mengenai kehidupan, kebersamaan, dan spiritualitas.

 

 

Dalam konteks ini, gelar “Penyimbang” menjadi simbol penting dalam struktur kepemimpinan dan representasi budaya masyarakat Lampung.

Gelar Penyimbang bukan sekadar gelar kehormatan, tetapi merupakan institusi budaya yang memuat filosofi hidup, tata nilai sosial, serta tanggung jawab moral dan spiritual terhadap masyarakat adat.

 

Dalam kedua sistem, baik Sai Batin maupun Pepadun, gelar ini memiliki peran strategis sebagai penyeimbang struktur sosial dan pengayom nilai-nilai adat. Esai ini bertujuan untuk mengupas secara mendalam asal usul dan filosofi gelar Penyimbang dalam konteks adat Lampung, dengan menyoroti akar historis, nilai simbolik, serta perbedaannya dalam dua sistem besar: Sai Batin dan Pepadun.

 

 

Makna dan Filosofi Gelar Penyimbang.

 

Secara etimologis, kata “Penyimbang” berasal dari kata dasar “simbang” yang berarti seimbang atau adil. Dalam konteks budaya Lampung, gelar ini mencerminkan posisi seseorang yang mampu menjaga keharmonisan sosial, menegakkan keadilan adat, serta menjadi rujukan dalam penyelesaian konflik.

Gelar ini biasanya diberikan kepada seseorang yang telah memenuhi persyaratan adat tertentu, baik secara keturunan, kemampuan intelektual, spiritual, maupun pengabdian sosial terhadap komunitasnya.

 

Secara filosofis, Penyimbang adalah representasi manusia yang utuh dalam konteks adat Lampung: bijaksana, adil, berwibawa, serta memiliki ikatan spiritual yang kuat dengan leluhur dan alam.

 

Baca Juga : Adat dalam Penyelesaian Perkawinan dan Warisan. Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

Penyimbang adalah perpanjangan tangan dari nilai-nilai adat yang turun temurun diwariskan, menjadi pengikat antara masa lalu, masa kini, dan masa depan masyarakat adat. Ia adalah penjaga nilai-nilai luhur seperti pi’il-pusanggiri (harga diri), nemui-nyimah (keramahtamahan), nengah-nyappur (keharmonisan sosial), dan sakai-sambaian (gotong-royong).

 

 

Nilai-nilai moral yang melekat dalam gelar Penyimbang mengandung ajaran tentang pentingnya kejujuran, tanggung jawab, serta keikhlasan dalam memimpin. Gelar ini bukanlah semata-mata status sosial, tetapi sebuah panggilan untuk menjalankan peran sosial-spiritual demi keseimbangan masyarakat.

Dalam masyarakat adat Lampung, seseorang yang menyandang gelar ini harus mampu menjadi teladan dalam tutur kata, sikap hidup, serta keputusan-keputusan adat yang diambil.

Spiritualitas yang melekat pada gelar ini juga sangat penting. Seorang Penyimbang diyakini memiliki keterhubungan spiritual dengan leluhur dan kekuatan alam yang diyakini menjaga komunitas. Oleh karena itu, proses pengangkatan gelar Penyimbang biasanya disertai dengan ritual-ritual adat yang melibatkan doa, persembahan, dan pengesahan dari tokoh adat serta masyarakat secara kolektif. Hal ini memperlihatkan bahwa gelar Penyimbang bukan sekadar simbol kekuasaan, tetapi juga mandat spiritual yang harus dijaga dengan integritas tinggi.

Latar Belakang Historis Gelar Penyimbang.

Sejarah gelar Penyimbang dapat ditelusuri sejak masa awal terbentuknya komunitas adat Lampung, jauh sebelum kedatangan kolonialisme di wilayah Sumatera.

Tradisi lisan masyarakat Lampung menyebutkan bahwa gelar ini merupakan warisan dari sistem kepemimpinan kuno yang berbasis pada kekerabatan dan kebijaksanaan lokal. Dalam naskah-naskah lama seperti Kuntara Raja Niti dan tambo-tambo adat yang diwariskan turun-temurun, Penyimbang disebut sebagai figur sentral dalam struktur marga (suku) dan tiyuh (kampung).

Pada masa kerajaan-kerajaan lokal seperti Keratuan Pugung dan Kerajaan Sekala Brak, gelar Penyimbang mulai diformalisasikan sebagai bagian dari sistem pemerintahan adat.

Ia berfungsi sebagai penasihat utama raja atau pemimpin suku, serta menjadi mediator dalam konflik internal maupun eksternal komunitas. Gelar ini diwariskan secara genealogis namun tetap mensyaratkan kelayakan moral dan spiritual dari individu yang akan menyandangnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah interaksi dengan pengaruh Islam dan kolonialisme Belanda, struktur sosial masyarakat Lampung mengalami penyesuaian.

Namun, gelar Penyimbang tetap bertahan sebagai bagian integral dari identitas kultural masyarakat. Ia bahkan menjadi simbol perlawanan terhadap upaya dekolonialisasi nilai-nilai adat oleh kekuasaan luar. Penyimbang tidak hanya menjadi pemimpin adat, tetapi juga simbol resistensi budaya terhadap homogenisasi dan marginalisasi kultural.

Perbedaan Sistem Sai Batin dan Pepadun.

Untuk memahami lebih jauh posisi gelar Penyimbang, penting untuk melihat perbedaan antara dua sistem adat utama di Lampung: Sai Batin dan Pepadun. Kedua sistem ini memiliki struktur sosial dan praktik budaya yang berbeda, meskipun berasal dari akar yang sama.

 

Tradisi Sai Batin adalah sistem adat yang lebih bersifat aristokratis dan tertutup. Dalam sistem ini, gelar Penyimbang umumnya diwariskan secara turun-temurun kepada keturunan bangsawan. Gelar tersebut memiliki konotasi spiritual yang sangat kuat, karena dianggap sebagai warisan sakral dari leluhur. Sai Batin menekankan pada eksklusivitas, keaslian darah keturunan, dan kesetiaan terhadap nilai-nilai tradisi.

 

 

Sementara itu, sistem Pepadun lebih demokratis dan terbuka. Dalam Pepadun, gelar Penyimbang dapat diberikan kepada siapa saja yang telah memenuhi syarat adat, terlepas dari keturunan bangsawan. Proses pemberian gelar melalui prosesi adat yang dikenal sebagai “naik Pepadun”, yang melibatkan musyawarah, pengakuan komunitas, serta upacara sakral. Pepadun memberikan ruang bagi mobilitas sosial dan pengakuan atas prestasi individu dalam masyarakat.

Perbedaan mendasar ini menunjukkan bahwa walaupun fungsi dasar Penyimbang sebagai pemimpin adat tetap sama, cara pengangkatannya, legitimasi sosialnya, serta perannya dalam struktur komunitas bisa berbeda tergantung sistem adat yang menaunginya. Dalam Sai Batin, Penyimbang lebih bersifat simbolik dan spiritual, sedangkan dalam Pepadun, ia juga memainkan peran administratif dan sosial yang aktif.

Penyimbang sebagai Institusi Budaya.

 

 

Gelar Penyimbang merupakan manifestasi nyata dari nilai-nilai adat masyarakat Lampung yang mencakup moralitas, spiritualitas, dan struktur sosial. Dalam dua sistem adat utama, Sai Batin dan Pepadun, gelar ini memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan hidup bermasyarakat.

 

Sebagai institusi budaya, Penyimbang bukan hanya pemimpin adat, tetapi juga penjaga memori kolektif, pelestari kearifan lokal, serta simbol kontinuitas budaya Lampung. Pemahaman mendalam terhadap asal usul dan filosofi gelar ini menjadi langkah awal untuk menghargai dan melestarikan warisan budaya Lampung yang semakin terdesak oleh modernisasi dan globalisasi.

 

 

Di tengah arus perubahan, keberadaan Penyimbang menjadi penanda penting bahwa identitas kultural bukan hanya soal masa lalu, tetapi juga fondasi bagi masa depan yang berakar kuat pada nilai-nilai lokal. ***

 

*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.

 

Source nataragung.id