| 27x dilihat | Artikel

jdih.lampungprov.go.id - BANDAR LAMPUNG - Makanan bukan sekadar pengisi perut; ia adalah cermin dari sejarah, identitas, dan cara hidup sebuah masyarakat. Di tanah Lampung, setiap sajian bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang warisan budaya yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lewat aroma, rasa, dan cara penyajiannya, makanan adat Lampung menyimpan kisah tentang tanah leluhur, kebersamaan, dan nilai-nilai hidup yang terus dijaga hingga hari ini.
Serial buku Dapur dan Warisan: Cerita Makanan Adat Lampung hadir sebagai upaya merawat dan mengenalkan kekayaan kuliner tradisional Lampung yang penuh makna. Setiap buku dalam seri ini menyoroti satu jenis makanan khas yang tidak hanya lezat, tetapi juga sarat simbol dan peran dalam kehidupan sosial masyarakat Lampung.
Buku ini adalah perjalanan. Bukan hanya ke meja makan, tapi ke dalam kenangan dan nilai-nilai yang dibungkus dalam sajian adat.
Buku 1: "Seruit, Rasa yang Menyatukan"
Di sinilah segalanya bermula. Seruit bukan hanya masakan, ia adalah ajakan untuk duduk bersama. Dalam seruit, ada ikan sungai yang ditumbuk dengan sambal terasi, tempoyak, dan kehangatan hati. Ia menjadi perekat keluarga, penanda pesta, dan simbol persatuan. Seruit mengajarkan bahwa rasa bisa menjadi ruang temu.
Buku 2: "Tempoyak: Asam yang Mengikat Lidah dan Kekerabatan"
Fermentasi durian ini bukan sekadar bahan, tapi lambang kesabaran. Rasanya tajam, aromanya kuat, namun ia justru meresap dan menyatukan dalam kehangatan piring makan. Di setiap sendok tempoyak, ada cerita tentang warisan, kerukunan, dan kasih yang diracik dengan waktu.
Buku 3: "Gulai Taboh: Sajian untuk Tamu Mulia"
Lemak santan dan rempah-rempah bersatu dalam gulai ini, tak hanya untuk memanjakan lidah, tapi untuk menghormati tamu. Gulai taboh adalah sajian penghargaan, tanda bahwa setiap orang yang datang disambut dengan segala yang terbaik. Ia mewakili keramahan Lampung yang halus tapi dalam.
Buku 4: "Umbu, Pahit yang Mendidik"
Tak semua rasa harus manis untuk dicintai. Umbu, dengan rasa pahitnya yang khas, menjadi pelajaran tentang ketabahan dan kebijaksanaan. Di dapur-dapur tua, umbu diajarkan sebagai makanan sekaligus nilai hidup: bahwa pahit pun bisa berguna, bisa menguatkan.
Buku 5: "Kue Adat dan Doa Ibu"
Ada cinta yang dikemas dalam lemper, bugis, lapis legit, dan berbagai kue tradisional. Di tangan ibu, adonan berubah menjadi pesan rindu, harapan, dan doa. Setiap kue adat adalah persembahan, entah untuk perayaan atau untuk anak yang hendak merantau. Dalam manisnya, tersembunyi banyak hal yang tak terucap.
Buku 6: "Lada dan Garam, Rasa yang Melekat"
Bumbu-bumbu dasar ini mungkin sering dilupakan karena sederhana. Tapi justru di situlah kekuatannya. Lada dan garam adalah penjaga rasa, pengikat masakan, dan penanda identitas. Ia membuktikan bahwa hal-hal kecil pun bisa menjadi fondasi besar dalam dapur dan dalam hidup.
Melalui seri ini, kami tidak hanya ingin mencatat resep, tetapi menyimpan ingatan. Sebab makanan adat bukan sekadar tentang bahan dan cara masak, tapi tentang hati, waktu, dan kebijaksanaan yang perlahan diracik menjadi warisan.
Mari kita berjalan bersama, ke dalam dapur-dapur tua, ke pangkuan nenek, ke masa kecil yang harum. Di sanalah kita akan temukan: makanan adalah bahasa paling jujur dari cinta dan budaya.
Lewat serial Dapur dan Warisan: Cerita Makanan Adat Lampung, kami berharap setiap pembaca, baik yang berasal dari Lampung maupun dari luar, dapat merasakan kehangatan nilai-nilai yang tersimpan dalam setiap sajian adat. Kami ingin makanan tidak hanya dikenal sebagai hasil, tetapi juga dipahami sebagai proses-proses mencintai tanah air, merawat kekerabatan, dan menghormati leluhur.
Kami berharap anak-anak muda bisa kembali ke dapur, bukan sekadar untuk belajar resep, tapi untuk mendengar cerita. Bahwa di balik setiap cobek dan wajan tua, ada hikmah yang lebih luas dari sekadar rasa. Bahwa makanan adalah pintu masuk untuk mengenal jati diri.
Kami ingin setiap ibu, nenek, dan penjaga tradisi tahu bahwa apa yang mereka racik selama ini bukan hal sepele. Bahwa dengan menjaga rasa, mereka juga menjaga budaya.
Dan kami ingin semua orang yang membaca ini, di mana pun berada,tahu bahwa Lampung punya warisan yang layak dicintai dan dilestarikan. Melalui buku-buku ini, semoga kita semua bisa menyalakan kembali api kecil di dapur-dapur adat, agar ia tak pernah padam, dan agar rasa tidak kehilangan akar. Karena makanan bukan hanya soal lidah. Ia adalah cara kita mengenang. Ia adalah cara kita kembali pulang. ***
*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.
Source: nataragung.id