PERLINDUNGAN HUKUM MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN VAKSINASI COVID-19 DI INDONESIA

| 14823x dilihat | Artikel

PERLINDUNGAN HUKUM MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN VAKSINASI COVID-19 DI INDONESIA

PERLINDUNGAN HUKUM MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN VAKSINASI COVID-19 DI INDONESIA

Oleh

Gigih Sanjaya Putra, Erman Syarif

 

PENDAHULUAN

Pada akhir tahun 2019, tepatnya pada bulan Desember, dunia dihebohkan dengan sebuah kejadian yang membuat banyak masyarakat dunia resah termasuk Indonesia, kejadian tersebut dikenal dengan pandemi virus corona (Covid-19).Pandemimerupakan epidemi yang menyebar hampir ke seluruh negara ataupun benua dan biasanya mengenai banyak orang. Peningkatan angka penyakit diatas normal yang biasanya terjadi, penyakit ini pun terjadi secara tiba-tiba pada populasi suatu area geografis tertentu.

Virus corona merupakan virus yang umumnya terdapat pada hewan dan dapat menyebabkan penyakit pada hewan ataupun manusia. Orang yang sudah terinfeksi virus ini, maka akan dengan mudah menyebarkan pada orang lainnya, penyakit ini merupakan infeksi yang terjadi pada pernafasan mulai dari flu biasa hingga penyakit yang lebih parah seperti Sindrom Pernafasan Timur Tengah (MERS) dan Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS). Dalam perkembangannya, virus ini terus bermutasi dan terdapat beberapa varian yang tersebar di dunia, antara lain : Alpha, Beta, Gamma, Delta, Epsilon, Zeta, Eta, Theta, Lota, Kappa dan yang terakhir Omicron.

Pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan strategi dalam menangani pandemi Covid-19 agar angka kejadian tidak terus meningkat. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah antara lain, menerapkan Protokol Kesehatan (menggunakan masker, mencucitangan, menjaga jarak/menghindari kerumunan, mengkonsumsi giziseimbang, menjaga perilaku hidup bersih dan sehat). Namun, pada kenyataannya banyak masyarakat yang tidak mematuhi protokol kesehatan yang diberikan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Kemudian, kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Beskala Besar) dan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegaiatan Masyarakat).

Virus corona merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Sars-Cov-2 bahwa dapat menular dari manusia ke manusia melalui percikan batuk/bersin (droplet). Dengan karakteristik penyakit yang seperti itu, maka kita harus membangun kekebalan tubuh dengan cara meningkatkan daya tahan tubuh atau imunitas dengan rajin berolahraga, mengkonsumsi makanan sehat dan vitamin, istirahat teratur dan menjaga pikiran agar tetap tenang dan positif serta menjaga jarak. Sehingga, dalam rangka mencegah dan menurunkan angka kejadian Covid-19, Pemerintah mengeluarkan kebijakan PP No. 14 Tahun 2021 tentang Vaksinasi Covid-19 dengan tujuan untuk membentuk kekebalan tubuh individu, sehingga tercipta kekebalan kelompok (herd immunity). Karena vaksin merupakan upaya kesehatan masyarakat paling efektif dan efisien dalam mencegah beberapa penyakit menular berbahaya dan dapat mengurangi transmisi/penularan Covid-19, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat Covid-19 dan melindungi masyarakat dari Covid-19 agar tetap produktif secara sosial dan ekonomi.

Dalam pelaksanaan vaksinasi, masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa vaksin berbahaya bagi kesehatan, tidak halal, bahkan menyebabkan kematian, sehingga banyak masyarakat yang belum menerima atau menolak untuk diberikan vaksin Covid-19. Penolakan masyarakat terhadap vaksin Covid-19 disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang vaksin, sehingga perlu diberikan edukasi dan sosialisasi tentang manfaat vaksin bagi individu dan masyarakat. Edukasi dan sosialisai dapat melalui kampanye,seminar, media sosial bahkan influencer(mengundang influencer untuk vaksin pertama kali). Apabila masyarakat sudah memiliki pengetahuan tentang manfaat vaksin tersebut, maka akan tercipta kesadaran bagi masyarakat untuk diberikan vaksin Covid-19 terhadap dirinya secara sukarelala.

Kemudian, dalam hal pemberian vaksin masih terdapat permasalahan karena pemberian vaksin merupakan tindakan medis. Dimana tindakan medis diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban atas tindakan yang akan diterima oleh individu, sehingga setiap orang mempunyai hak untuk menolak atau menerima diberikan vaksin. 

Dalam hal menerima, masyarakat merasa terpaksa menerima vaksin karena apabila tidak divaksin, maka akan dipersulit dalam pelayanan administrasi, penundaan jaminan sosial yang diatur dalam PP No. 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin Dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19. Selain itu, vaksin merupakan syarat bagi individu dalam melakukan perjalanan baik dari dalam dan ke luar kota ataupun ke luar negeri, dalam pengambilan gaji, pengurusan kenaikan pangkat, perpanjangan masa studi dalam perkuliahan dan lain-lain. Sehingga, individu harus menerima vaksin untuk dirinya. Kemudian, dalam hal menolak vaksin bahwa pemberian vaksin sudah ditentukan sasaran yang sesuai dengan kriteria penerima vaksin. Apabila, individu yang termasuk dalam sasaran wajib vaksin tidak memenuhi kriteria yang telah ditentukan atau tidak lolos skrining, maka individu tersebut berhak untuk menolak diberikan vaksin. Sehingga, individu yang tidak dapat divaksin karena faktor kesehatan atau tidak lolos skrining harus diberikan perlindungan hukum terhadap dirinya. Sebaliknya, apabila orang yang memenuhi kriteria vaksin namun menolak untuk diberikan vaksin, maka orang tersebut akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. 

Dalam situasi pandemi ini, ada dua kepentingan yang harus dilindungi dan saling berkaitan satu sama lain, yaitu kepentingan individu dan kepentingan umum. Karena vaksin akan menyangkut akan kepercayaan-kepercayaan yang ada dalam masyarakat. Sebagai contoh adalah masyarakat daerah A tidak percaya atau menolak jika diberikan vaksin jenis Sinovac dengan berbagai macam alasan, sedangkan masyarakat daerah B lebih memilih untuk disuntik dengan vaksin jenis Pfizer. Sehingga, untuk memenuhi dua kepentingan ini, maka membutuhkan kerangka hukum yang diletakkan dalam konteks UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Kerangka hukum ini harus dilakukan dengan pelayanan yang komprehensif sesuai dengan UU Kesehatan, yaitu preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. 

Maka, dalam pelaksanaan vaksin membutuhkan kerangka hukum berupa regulasi di tingkat daerah dan regulasi di tingkat daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Sehingga, dengan adanya regulasi di tingkat pusat dan daerah, maka terdapat tanggung jawab pemerintah dalam pelaksanaan vaksinasi tersebut.

 

METODOLOGI

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan Yuridis Normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari bahan-bahan pustaka yang berupa literatur dan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

PEMBAHASAN

AKIBAT HUKUM BAGI MASYARAKAT YANG MENOLAK VAKSIN COVID-19

Pandemi Covid-19 merupakan wabah penyakit yang disebabkan virus SARS COV-2 yang menjadi perhatian dunia sejak akhir tahun 2020, wabah ini sudah banyak menelan korban jiwa, sehingga tidak mungkin dibiarkan begitu saja bila tidak ingin populasi manusia akan habis karena keganasan virus tersebut. Hal itulah yang membuat berbagai Negara melakukan upaya untuk mengurangi dan menyelamatkan warga negara agar dapat terhindar dari serangan Covid-19. Pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan dalam upaya menangani dan mengatasi Covid-19. Salah satu kebijakan pemerintah untuk menangani penyebaran virus Covid-19 melalui vaksin Covd-19 yang tertuang dalam Perpres No. 14 tahun 2021 perubahan atas Perpres No. 99 tahun 2020 tentang pengadaan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi dalam penanggulangan pandemi Covid-19. 

Vaksin Covid-19 merupakan hal yang wajib dilaksanakan bagi masyarakat Indonesia dan apabila menolak untuk diberikan vaksin Covid-19, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sebagai upaya untuk menciptakan kesehatan yang layak bagi masyarakat secara keseluruhan, maka muncul adanya sanksi bagi siapapun yang menolak untuk divaksinasi, ketentuan ini diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya: Pertama, Pasal 93 UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan kesehatan “setiap orang yang tidak mematuhi penyelengaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah)”. Pasal ini merupakan undang-undang administrasi yang dilekatkan sanksi pidana atau dapat disebut hukum pidana administratif, dalam penerapannya pasal tersebut memiliki keterbukaan yang sangat luas dalam penafsirannya dan perbuatan seseoarang dilanggar dalam pasal ini harus menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat agar dapat dijatuhkan sanksi, namun pada dasarnya sifat penjatuhan sanksi pidana diupayakan sebagai sarana paling akhir disamping sarana penegakan hukum lainnya tidak lagi berfungsi (ultimum remidium). Kedua, Pemda DKI Jakarta merupakan Pemda yang paling fokus terhadap penanggulangan Virus Corona yaitu dengan mengeluarkan Perda DKI Nomor 2 Tahun 2020 tentang penanggulangan Corona Virus Disease 2019 pasal 30 yang berbunyi “setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah)”. Ketiga, Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2021 perubahan atas Perpres No. 99 Tahun 2020 tentang pengadaan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19 memuat masalah penegakan hukum saat dan pasca vaksinasi diantaranya Pasal 13A ayat (4) “setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti vaksinasi Covid-19 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif berupa : penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial; penundaan atau penghentian layanan administrasi dan/atau; denda dan Pasal 13B “setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti vaksinasi Covid-19 sebagaimana dimaskud dalam 13A ayat (2) dan menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan penyebaran Covid-19 selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A ayat (4) dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular”. Keempat, Adapun kemungkinan penggunaan pasal 216 KUHP yang mencakup siapa saja dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat berdasarkan tugasnya maupun yang dengan sengaja mencegah, menghalangi, atau mengagalkan tindakan sesuai ketentuan undang-undang oleh pejabat diancam pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan puluh rupiah untuk diterapkan bagi yang tidak mentaati Perpres Nomor 14 Tahun 2021.

Kemudian, Kelima, Konsekuensi bagi seseorang yang menolak untuk divaksinasi, maka tidak akan mendapatkan Sertifikat Vaksinasi Internasional yang dibutuhkan dalam melakukan perjalanan Internasional, maka berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pelayanan dan Penerbitan Sertifikat Vaksinasi Internasional bahwa salah satu adanya Sertifikat Vaksinasi Internasional untuk menyatakan bahwa seseorang telah mendapatkan vaksinasi untuk perjalanan Internasional contohnya: Jemaah haji dan Jemaah Umrah. Adapun kewajiban untuk menunjukan Sertifikat Vaksinasi Internasional tercantum pada Pasal 18 ayat 2 dan 3 yang menjelaskan bahwa terhadap orang yang datang dari negara terjangkit dan/atau endemis penyakit menular tertentu tidak dapat menunjukan Sertifikat Vaksinasi Internasonal, maka akan dilakukan tindakan kekarantinaan selanjutnya terhadap orang yang berangkat ke negara terjangkit atau endemis penyakit menular tertentu serta tidak dapat menunjukan Sertifikat Vaksinasi Internasional atau sertifikat tersebut tidak valid, maka harus dilakukan Vaksinasi dan/atau profilaksis, penundaan keberangkatan, dan penerbitan Sertifikat Vaksinasi Internasional.

 

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI MASYARAKAT DALAM VAKSINASI COVID-19

Perlindungan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban yang dapat diwujudkan dalam bentuk seperti melalui restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum. Dalam pelaksanaan vaksinasi COVID-19 tentu diperlukan adanya perlindungan hukum pasca pelaksanaannya karena hal ini berkaitan erat dengan keamanan dan kesehatan masyarakat luas. Dimana mereka berhak menda patkan perlindungan atas kesehatan dirinya sendiri. Sehingga, jangan sampai pelaksanaan vaksinasi yang diharapkan menjadi solusi dari pandemi Covid-19 ini dapat merugikan atau membahayakan masyarakat.

Negara memiliki tanggung jawab atas keselamatan warga negara dalam upaya penanganan Pandemi Virus Corona. Bentuk perlindungan hukum preventif yang diberikan Pemerintah bagi masyarakat dalam upaya terhindar atau mengurangi terpapar dari virus corona adalah dengan program vaksinasi Covid-19 yang diberikan secara gratis kepada seluruh warga negara atau masyarakat Indonesia yang sudah diatur dalam Perpres No. 14 tahun 2021 perubahan atas Perpres No. 99 tahun 2020 tentang pengadaan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi dalam penanggulangan pandemi Covid-19. 

Adapun yang terjadi pasca pelaksanaan vaksinasi Covid-19 atau setelah dilakukan vaksinasi Covid-19, terdapat gejala atau reaksi yang timbul karena efek samping dari vaksin tersebut. Reaksi yang timbul karena efek samping vaksin dibagi menjadi tiga: Pertama, Reaksi Ringan : a) Nyeri, kemerahan, bengkak pada tempat disuntikkan; b) Reaksi lokal lain yang berat misalnya selulitis. Kedua, Reaksi Sistemik: a) Demam; b) Nyeri otot seluruh tubuh (myalgia); c)Nyeri sendi (atralgia); d) Badan lemah; e) Sakit kepala. Ketiga, Reaksi Berat yaitu reaksi yang biasanya tidak menimbulkan masalah jangka panjang, namun dapat menimbulkan kecacatan, menimbulkan kejang, dan reaksi alergi yang timbul sebagai akibat reaksi tubuh terhadap komponen tertentu yang ada di dalam vaksin. Apabila reaksi berat terjadi, maka harus dilaporkan karena reaksi alergi berat (syok anafilaksis) dapat mengancam jiwa atau dapat menjadi reaksi kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) serius.

Hal inilah yang menjadi perdebatan dan kekhawatiran di masyarakat. Dimana pemerintah diharapkan juga untuk mempertimbangkan hal ini dengan sangat hati-hati. Sehingga, pemerintah mengatur pertanggung jawaban negara yang merupakan bentuk perlindungan hukum secara represif, berupa kompensasi apabila efek samping paling parah terjadi kepada masyarakat pasca pelaksanaan vaksinasi Covid-19. Hal ini terdapat dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Pasal 15 B ayat (2) dan (3): (2) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa santunan cacat atau santunan kematian. Dan besaran kompensasi nya juga diatur dalam Pasal 15 B ayat (3): Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, bentuk, dan nilai besaran untuk kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Kesehatan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

Contoh kasus pasca pelaksanaan vaksinasi Covid-19 yang terjadi yaitu kasus wakil walikota Batam Amsakar Achmad yang terpapar Covid-19 beberapa hari setelah disuntik vaksin Covid-19. Setelah divaksin pertama, kekebalan tubuh belum terbentuk. Maka, dengan itu sebagai bentuk pertanggung jawaban pemerintah atas kejadian yang menimpa wakil walikota Batam, pemerintah akan menanggung biaya perawatan pasien. Seperti yang tertera dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 semua biaya akan ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah Daerah atau sumber pembiayaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Dari kasus ini dapat dilihat sebagai contoh bahwa pemerintah bertanggung jawab dan menganggung seluruh akibat yang terjadi pasca pelaksanaan vaksinasi COVID-19 terhadap masyarakat di Indonesia. Hal ini juga diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Sesuai Pasal 11 A ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) disebutkan bahwa Pemerintah mengambil alih tanggung jawab hukum terhada keamanan (safety), mutu (quality), dan khasiat (efficacy) imunogenisitas. Selanjutnya juga, dalam ayat (4), dan (5) menyebutkan bahwa pemerintah juga ikut bertanggung jawab hukum terhadap kasus kejadian ikutan pasca vaksinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan baik sebelum atau sesudah penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat. 

Kemudian, dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Pasal 15 ayat (4) terhadap kasus kejadian ikutan pasca vaksinasi Covid-19 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pengobatan dan perawatan sesuai dengan indikasi medis dan protokol pengobatan. Pada ayat selanjutnya diatur bahwa biaya pengobatan dan perawatan dilaksanakan dengan ketentuan; Untuk peserta program jaminan kesehatan nasional yang aktif, ditanggung melalui mekanisme jaminan kesehatan nasional, dan untuk peserta program jaminan kesehatan nasional yang non-aktif dan selain peserta program jaminan kesehatan nasional di danai melalui mekanisme pendanaan lain yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara.

 

UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH MASYARAKAT APABILA TIDAK MENDAPATKAN PERLINDUNGAN HUKUM PASCA PELAKSANAAN VAKSINASI COVID-19 DI INDONESIA

Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah merupakan bagian dari hierarki perundang-undangan, namun demikian terkait ketentuan pidana merupakan ketentuan yang tidak mutlak ada dalam peraturan perundang-undangan, hal ini sejalan dengan Pasal 15 angka (3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda. Kata “dapat” mengindikasikan bahwa undang-undang tidak harus selalu ada ketentuan pidana di dalamnya. Syarat penerima vaksin ditetapkan melalui Keputusan Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI No. HK.02.02/4/1/2021 yang pada intinya penerima vaksin adalah orang yang sehat, tidak dalam keadaan terpapar virus Covid-19 yang dapat menularkan kepada orang lain, jika terjadi penolakan maka sesungguhnya tidak menjadi penyebab terhalangnya pelaksanaan penanggulangan penyebaran covid-19 dan oleh karenanya tidak dapat dikenai sanksi denda, sebagaimana Pasal 13B ataupun pasal 30 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020, terlebih sanksi tersebut tidak memberikan keadilan bagi masyarakat yang tidak memiliki kapabilitas. Apabila sanksi tersebut dilaksanakan, maka berdasarkan hierarki perundang-undangan telah melanggar pasal 5 angka (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dinyatakan bahwa “setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggungjawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Kemudian, apabila masyarakat tidak mendapatkan perlindungan hukum pasca pelaksanaan vaksinasi Covid-19, maka ada upaya yang dapat dilakukan, yaitu dengan mengajukan gugatan perdata melalui tiga bentuk yaitu gugatan perdata biasa, Citizen Lawsuit, dan Class Action.

Gugatan perdata biasa dapat diajukan berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), baik itu yang secara langsung maupun tidak secara langsung dikenakan kepada pelaku. Gugatan ini pada dasarnya dapat diajukan kepada pemerintah karena pemerintah sudah mengambil alih pertanggung jawaban hukum dari pembuat vaksin yang sudah tertera dalam Pasal 11 A ayat (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang berbunyi pengambilalihan tanggung jawab hukum oleh pemerintah terhadap penyedia vaksin Covid-19 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sepanjang proses produksi dan distribusi telah memenuhi cara pembuatan obat yang baik atau cara distribusi obat yang baik. Sedangkan, gugatan melawan hukum yang dikenakan secara tidak langsung kepada pelaku, diajukan berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata yang menyatakan “Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”. Gugatan ini merupakan tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain atau dikenal dengan tanggung jawab pengganti (vicarious lability). 

Gugatan perdata berikutnya adalah citizen lawsuit merupakan gugatan yang diajukan warga negara terhadap penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara. Kelalaian negara dalam gugatan citizen lawsuit merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum, sehingga gugatan ini diajukan pada lingkup peradilan umum sebagai perkara perdata. Petitum gugatan citizen lawsuit, dapat berupa tuntutan kepada negara untuk mengeluarkan suatu pengaturan yang bersifat umum (regeling) agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari.

Gugatan perdata terakhir adalah class action yang dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action). Gugatan class action, menurut Pasal 46 ayat (1) huruf b UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999, merupakan gugatan yang dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Sedangkan, menurut PERMA No. 1 Tahun 2002, “Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.” Persyaratan umum dari class action adalah gugatan mencakup banyak orang sebagai penggugat; terdapat kesamaan fakta atau peristiwa,

kesamaan dasar hukum, dan jenis tuntutan; serta perwakilan kelompok harus jujur dan bersungguh-sungguh melindungi kepentingan kelompok yang diwakili. Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Dalam kasus ini, masyarakat yang sudah melakukan vaksinasi Covid-19 yang telah dilakukan sejak bulan Januari 2021 dan mengalami efek samping atau kerugian yang sama dapat berkumpul untuk membuat suatu gugatan dan menunjuk satu orang atau lebih yang mewakili kelompok dalam mengajukan gugatan terhadap pemerintah dikarenakan adanya kejadian ikutan pasca vaksinasi Covid-19, dan apabila pemerintah tidak berkenan untuk memberikan tanggung jawab yang sebagaimana telah di atur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

 

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Konsekuensi hukum yang akan diterima masyarakat apabila menolak diberikan vaksin Covid-19, bahwa Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2021 perubahan atas Perpres No. 99 Tahun 2020 tentang pengadaan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19, memuat masalah penegakan hukum saat dan pasca vaksinasi diantaranya Pasal 13A ayat (4) “setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti vaksinasi Covid-19 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif berupa : penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial; penundaan atau penghentian layanan administrasi dan/atau; denda dan Pasal 13B “setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti vaksinasi Covid-19 sebagaimana dimaskud dalam 13A ayat (2) dan menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan penyebaran Covid-19 selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A ayat (4) dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Serta konsekuensi bagi seseorang yang menolak untuk divaksinasi, maka tidak akan mendapatkan Sertifikat Vaksinasi Internasional yang dibutuhkan dalam melakukan perjalanan Internasional, maka berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pelayanan dan Penerbitan Sertifikat Vaksinasi Internasional bahwa salah satu adanya Sertifikat Vaksinasi Internasional untuk menyatakan bahwa seseorang telah mendapatkan vaksinasi untuk perjalanan Internasional contohnya: Jemaah haji dan Jemaah Umrah.

Perlindungan hukum masyarakat dalam vaksin Covid-19 sudah tercantum dalam Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2021 perubahan atas Perpres No. 99 Tahun 2020 tentang pengadaan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19.

Pada intinya penerima vaksin adalah orang yang sehat, tidak dalam keadaan terpapar virus Covid-19 yang dapat menularkan kepada orang lain, jika terjadi penolakan maka sesungguhnya tidak menjadi penyebab terhalangnya pelaksanaan penanggulangan penyebaran covid-19 dan oleh karenanya tidak dapat dikenai sanksi denda, sebagaimana Pasal 13B ataupun pasal 30 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020, terlebih sanksi tersebut tidak memberikan keadilan bagi masyarakat yang tidak memiliki kapabilitas.

Apabila masyarakat tidak mendapatkan perlindungan hukum pasca pelaksanaan vaksinasi Covid-19, maka ada upaya yang dapat dilakukan, yaitu dengan mengajukan gugatan perdata melalui tiga bentuk yaitu gugatan perdata biasa, Citizen Lawsuit, dan Class Action. 

 

SARAN

Masyarakat

Bagi masyarakat Indonesia, karena Vaksin Covid-19 ini banyak sekali pro dan kontra yang berkembang di tengah kehidupan, maka sebaiknya masyarakat tidak mudah terkena berita bohong atau hoax dengan selalu mempelajari lebih lanjut dan mencari tahu mengenai peraturan terbaru yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia mengenai pelaksanaan vaksinasi COVID-19 ini. Jangan sampai ada multitafsir dan perbedaan pendapat yang dapat menyebabkan kesalahpahaman dan muncul masalah di masyarakat sendiri. 

Pemerintah

Bagi Pemerintah, sebaiknya lebih aktif dalam mensosialisasikan pelaksanaan vaksinasi Covid-19 beserta dengan peraturan yang mengatur mengenai vaksinasi Covid-19 tersebut, sehingga dapat menghilangkan kekhawatiran masyarakat terhadap efek samping vaksin Covid-19 dan masyarakat mengetahui dan memahami bentuk perlindungan hukum yaitu pertanggung jawaban negara pasca pelaksanaan vaksinasi Covid-19 yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Agus Purwanto, dkk, “Studi Eksplorasi Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Proses Pembelajaran Online di Sekolah Dasar”, Indonesia: Universitas Pelita Harapan. 2020, hal. 5.

Ayunda, Rahmi,dkk. “Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Terhadap Efek Samping Pasca Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 Di Indonesia.” Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial. Vol. 8, No. 3. 2021.

Berdasarkan data laporan Kementrian Kesehatatan RI bahwa Covid telah masuk ke Indonesia. https://www.kemkes.go.id/.

Buana, D. R.“Analisis Perilaku Masyarakat Indonesia dalam Menghadapi Pandemi Virus Corona (Covid-19) dan Kiat Menjaga Kesejahteraan Jiwa”. National Research Tomsk State University, Universitas Mercu Buana. 2020.

Handayani,Otih. “Kontroversi Sanksi Denda PadaVaksinasi Covid-19 Dalam Perspektif Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.” Krtha Bhayangkara. Vol. 15, No. 1. 2021

https://covid19.go.id/storage/app/media/Regulasi. Diakses tanggal 14 Januari 2022, pukul 20.15 wib.

https://www.antaranews.com/berita/2222090/kisah-mereka-yang-terpapar-Covid-19-setelah-divaksin.

https://www.who.int/news/item/26-11-2021-classification-of-omicron-(b.1.1.529)-sars-cov-2-variant-of-concern. Diakses tanggal 14 Januari 2022, 20.00 wib. 

Lintuwulang, Olivia,dkk. “Penegakan Hukum Terhadap Pihak Yang Menolak Vaksin Covid-19 Ditinjau Dari Hukum Positif Indonesia”. Lex Crimen Vol. X/No. 12/Nov/2021.

Sanjaya, Agung M,.dkk. “Kajian Hukum Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 Di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia”. Jurnal Permuliaan Hukum : Universitas Islam Nusantara. Vol.4, No.1. April, 2020.

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 2004. Hlm. 1.

World Health Organization. “Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi”. https://in.vaccine-safety-training.org/vaccinereactions.html. 2021.

Yuliana, “Corona Virus Diseases(Covid-19)”, Lampung : Fakultas Kedokteran Unviersitas Lampung, 2020. hal. 190.

 

Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular;

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action).Permenkes Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pelayanan dan Penerbitan Sertifikat Vaksinasi

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan;

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan;

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID 19).

Peraturan Menteri Kesehatan No. 84 Tahun 2020 Pasal 1 Kementrian Kesehatan, Buku Saku Info Vaksin, 2020

Keputusan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor HK.02.02/4/1/2021 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019