| 15x dilihat | Artikel

jdih.lampungprov.go.id - BANDAR LAMPUNG - Adat istiadat adalah jantung dari sebuah peradaban lokal. Ia bukan hanya ritual atau upacara, tetapi representasi nilai-nilai luhur yang membentuk identitas suatu masyarakat. Masyarakat Lampung, dengan sistem sosial budaya yang kaya dan unik, memiliki kekuatan adat yang diwariskan lintas generasi.
Namun, di tengah era globalisasi dan digitalisasi yang begitu cepat, eksistensi adat sering kali tergeser oleh arus modernitas, gaya hidup instan, serta budaya global yang masuk melalui media sosial.
Pepatah lokal menyebutkan, "Adat dihidupkan, bukan dikenang," yang berarti adat tidak sekadar dijadikan warisan sejarah, tetapi harus dijadikan pedoman hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, peran masyarakat, terutama generasi muda dan keluarga, menjadi sangat penting.
Al-Qur’an dalam QS. Al-Hujurat: 13 menegaskan: "Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal..."
Ayat ini menjadi dasar spiritual bahwa keberagaman budaya dan adat merupakan kehendak ilahi untuk dijaga, dipelajari, dan dihormati. Tulisan ini akan menguraikan bagaimana masyarakat Lampung menghadapi tantangan modern, upaya komunitas muda dalam melestarikan nilai-nilai adat, serta langkah praktis dalam menghidupkan kembali adat di ranah keluarga.
Transformasi digital telah membawa perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi dan memandang dunia. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube telah menciptakan budaya instan, konsumtif, dan cenderung mengutamakan pencitraan. Hal ini berdampak pada nilai-nilai komunal, kebersahajaan, dan penghormatan terhadap adat yang menjadi pilar budaya Lampung.
Budaya individualistik mulai tumbuh, terutama di kalangan generasi muda yang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia maya daripada berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Upacara adat menjadi dianggap kuno, pakaian adat mulai ditinggalkan, bahkan bahasa daerah mulai ditinggalkan dalam komunikasi sehari-hari.
Hal ini semakin diperparah oleh sistem pendidikan formal yang tidak banyak memberi ruang bagi pembelajaran budaya lokal secara mendalam. Akibatnya, generasi muda mengalami keterputusan identitas budaya. Mereka mengenal dunia luar lebih baik daripada mengenal adatnya sendiri.
Tantangan ini harus disikapi dengan pendekatan strategis, yaitu melalui penguatan komunitas, inovasi dalam pengajaran adat, serta keterlibatan aktif keluarga dalam pewarisan nilai budaya.
Di tengah tantangan tersebut, muncul berbagai komunitas pemuda Lampung yang menyadari pentingnya menjaga identitas budaya. Salah satu nilai utama yang mereka jaga adalah Pi’il Pesenggikhi, yakni semangat menjaga harga diri, kehormatan, dan martabat pribadi maupun keluarga dalam kehidupan sosial.
Komunitas seperti "Lampung Youth Heritage" dan "Keluak Budaya Sai Batin" menjadi pelopor gerakan pelestarian budaya melalui kegiatan kreatif. Mereka menggelar pelatihan menulis aksara Lampung, kursus menari tari tradisional, dan forum diskusi budaya yang digelar secara rutin baik daring maupun luring. Selain itu, mereka aktif menyebarkan konten edukatif tentang budaya Lampung di media sosial dalam bentuk video pendek, ilustrasi, dan infografik.
Melalui pendekatan ini, generasi muda diperkenalkan kembali dengan filosofi adat, terutama nilai Pi’il Pesenggikhi yang sangat relevan dengan tantangan zaman. Nilai ini mengajarkan tanggung jawab sosial, integritas, dan kehormatan dalam bermedia sosial dan berinteraksi di dunia maya. Misalnya, tidak menyebarkan fitnah, menjaga sopan santun digital, dan tetap menjunjung etika komunikasi.
Gerakan ini membuktikan bahwa pelestarian adat tidak harus dengan cara konvensional. Justru, dengan adaptasi teknologi dan kreativitas, adat dapat dihidupkan kembali dengan semangat baru.
Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dalam pembentukan karakter anak. Oleh karena itu, penanaman nilai adat Lampung harus dimulai dari rumah. Berikut adalah panduan praktis yang bisa diterapkan oleh orang tua:
1. Gunakan Bahasa Lampung di Rumah Biasakan anak-anak untuk mengenal dan menggunakan bahasa Lampung dalam percakapan sehari-hari. Ini akan membantu mereka menginternalisasi cara berpikir dan nilai lokal.
2. Ceritakan Cerita Rakyat dan Filosofi Adat Luangkan waktu untuk menceritakan kisah-kisah lokal seperti "Si Pahit Lidah" atau legenda Tuha Raja. Kaitkan kisah tersebut dengan nilai kehidupan seperti kejujuran, keberanian, dan pengabdian.
3. Kenalkan Upacara Adat Sejak Dini Libatkan anak dalam acara adat keluarga seperti "begawi", khitanan adat, dan hajatan. Biarkan mereka melihat, bertanya, dan terlibat.
4. Pelibatan dalam Kegiatan Sosial Ajak anak ikut dalam kegiatan gotong royong, arisan kampung, atau ziarah leluhur. Di sini mereka belajar tentang tanggung jawab sosial dan hubungan komunal.
5. Tetapkan Waktu Khusus untuk Diskusi Nilai Misalnya, setiap malam Jumat digunakan untuk diskusi keluarga mengenai nilai-nilai adat dan agama. Bisa juga disertai dengan membaca Al-Qur’an dan mengaitkannya dengan prinsip adat.
Dengan cara ini, anak-anak akan tumbuh dengan kesadaran bahwa adat bukan masa lalu yang harus dilupakan, tetapi warisan yang perlu dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ayat Al-Qur’an dalam QS. Al-Hujurat: 13 menegaskan bahwa keberagaman suku dan bangsa bukanlah perbedaan yang memecah belah, melainkan rahmat yang memperkaya umat manusia. Dalam konteks Lampung, adat bukan hanya identitas lokal, tetapi bagian dari kehendak Allah dalam membentuk masyarakat yang saling mengenal dan menghormati.
Islam tidak menolak budaya selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Justru Islam mendorong penguatan nilai lokal yang mendukung akhlak mulia. Nilai Pi’il Pesenggikhi misalnya, sangat dekat dengan konsep Islam tentang izzah (kemuliaan diri), amanah (tanggung jawab), dan ukhuwwah (persaudaraan).
Menghidupkan adat berarti juga mengamalkan Islam secara kontekstual, karena keduanya saling menguatkan dalam membentuk pribadi yang beradab, bertakwa, dan bermasyarakat.
Adat istiadat Lampung tidak bisa dibiarkan hanya sebagai kenangan masa lalu. Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi yang sangat cepat, justru nilai-nilai adat seperti Pi’il Pesenggikhi, Nemui Nyimah, Nengah Nyampur, dan Sakai Sambayan harus dihidupkan dalam bentuk yang relevan dan adaptif.
Tantangan berupa media sosial, individualisme, dan gaya hidup instan harus dijawab dengan kreatifitas, pendidikan karakter di rumah, dan penguatan komunitas budaya.
Generasi muda memiliki peran kunci dalam pelestarian ini, dan harus difasilitasi dengan ruang berekspresi yang sejalan dengan nilai-nilai adat.
QS. Al-Hujurat: 13 memberikan kerangka spiritual bahwa keberagaman budaya adalah kehendak Tuhan yang harus dijaga dan dihargai. Maka, menghidupkan adat adalah bagian dari ibadah sosial dan kontribusi terhadap ketahanan identitas bangsa. Adat bukan hanya milik masa lalu, tapi juga panduan untuk masa depan.
Daftar Pustaka
1. Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. (2001). Shahih Al-Bukhari. Beirut: Dar Ibn Katsir.
2. Al-Qaradawi, Yusuf. (1998). Fiqh al-Awlawiyyat. Beirut: Dar al-Shuruq.
3. Al-Qur'an dan Terjemahannya. (2016). Kementerian Agama RI.
4. Badan Bahasa Kemdikbud. (2021). Kamus Bahasa Lampung Dialek Api dan Nyo. Jakarta: Balai Bahasa.
5. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2012). Pemetaan Bahasa dan Budaya Nusantara: Lampung. Jakarta: Kemendikbud RI.
6. Departemen Agama Republik Indonesia. (2005). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Depag RI.
7. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1994). Ensiklopedi Kebudayaan Indonesia: Lampung. Jakarta: Depdikbud RI.
8. Hadikusuma, Hilman. (1989). Adat Istiadat Daerah Lampung. Bandar Lampung: Universitas Lampung Press.
9. Hadis Shahih Bukhari & Muslim (Terjemahan dan Penjelasan). (2010). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
10. Hidayat, M. (2020). "Makna Sosial dalam Tari Sembah Masyarakat Lampung". Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 41 No. 2.
11. Ibn Katsir, Ismail. (2007). Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim. Beirut: Dar al-Fikr.
12. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2018). Warisan Budaya Takbenda Indonesia: Tradisi Lisan dan Kearifan Lokal Lampung. Jakarta: Kemendikbud.
13. Nasution, R. (2015). Seni Pertunjukan dan Nilai-Nilai Sosial dalam Budaya Nusantara. Jakarta: LIPI Press.
14. Rahman, M. (2016). Pi'il Pesenggikhi: Landasan Moral Masyarakat Lampung. Jakarta: Balai Pustaka.
15. Rahman, M. (2017). Bahasa dan Tutur Kata dalam Budaya Adat Lampung. Jakarta: LIPI Press.
16. Sari, D. (2021). "Relasi Antara Nilai Islam dan Adat Lampung dalam Penyelesaian Konflik Sosial." Jurnal Sosio Religi, Vol. 7 No. 2.
17. Sulaiman, A. (2013). "Nilai-nilai Budaya dalam Masyarakat Lampung." Jurnal Kebudayaan Nusantara, Vol. 2 No. 1.
18. Sulaiman, A. (2015). "Sistem Gelar Adat dan Sapaan dalam Struktur Sosial Lampung." Jurnal Antropologi Budaya, Vol. 3 No. 1.
19. Sulaiman, A. (2016). "Gotong Royong dan Seni Tradisi sebagai Identitas Sosial Masyarakat Lampung". Jurnal Kebudayaan Nusantara, Vol. 5 No. 1.
20. Syarifuddin, A. (2021). "Simbolisme dan Etika dalam Prosesi Pernikahan Adat Lampung". Jurnal Adat dan Budaya Nusantara, Vol. 8 No. 2.
21. Yusuf, M. (2018). Islam dan Adat: Perspektif Interkultural dalam Masyarakat Nusantara. Bandung: Pustaka Mizan.
22. Yusuf, M. (2020). Islam dan Budaya: Harmonisasi Nilai Lokal dan Spiritualitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
23. Yusuf, M. (2020). Islam dan Budaya: Integrasi Nilai dalam Pendidikan Adat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
24. Zainal, R. (2019). "Peran Pantun dalam Komunikasi Adat di Masyarakat Lampung". Jurnal Bahasa dan Budaya, Vol. 6 No. 1. ***
*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.
Source: nataragung.id