| 14x dilihat | Artikel

jdih.lampungprov.go.id - BANDAR LAMPUNG - Dalam khazanah budaya Lampung, warisan bukan semata soal harta benda, namun lebih dalam lagi: warisan nilai, prinsip hidup, dan budi pekerti. Orang tua dan tetua adat berperan sangat besar dalam membentuk karakter generasi muda melalui tradisi petuah, keteladanan, dan pembinaan yang dijalankan sejak dini.
Masyarakat Lampung memahami bahwa karakter luhur lebih berharga dari sekadar kekayaan materi, karena karakter adalah dasar bagi kehormatan, kearifan, dan kemuliaan hidup bermasyarakat.
Prinsip ini tersirat dalam filosofi hidup masyarakat Lampung yang menjunjung tinggi nilai-nilai "Pi'il Pesenggikhi" (harga diri), "Nemui Nyimah" (ramah tamah), "Nengah Nyampur" (partisipatif), dan "Sakai Sambayan" (gotong royong). Semua ini ditanamkan melalui pendidikan adat yang dimulai dalam lingkup keluarga dan diperkuat oleh komunitas dan tetua adat.
Salah satu hadis Rasulullah saw. menyatakan: "Tiap kalian adalah pemimpin, dan tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya." (HR. Bukhari & Muslim). Hadis ini mencerminkan filosofi spiritual yang sejalan dengan peran orang tua dan tetua adat sebagai pendidik moral dan pengarah kehidupan anak-anak.
Tulisan ini akan mengupas secara analitis bagaimana peran orang tua dan tetua adat Lampung dalam menanamkan nilai-nilai karakter kepada generasi muda, melalui tradisi, kisah nyata, refleksi spiritual, dan praktik sosial-budaya.
Dalam masyarakat Lampung, pembinaan karakter dimulai dari rumah, yang dalam bahasa lokal disebut sebagai tengah rumah. Orang tua tidak hanya menjadi pencari nafkah, tetapi juga pendidik utama.
Pembinaan dilakukan secara langsung melalui petuah (petuakh) yang disampaikan dalam bentuk nasihat bijak, cerita rakyat, dan pantun adat. Petuah ini diberikan secara rutin dalam momen santai seperti makan malam, berkumpul di beranda, atau setelah ibadah.
Petuah yang diberikan sering kali memiliki muatan moral tinggi dan mencerminkan kearifan lokal. Contohnya:
"Jangan kau pandang harta kawanmu, tapi lihatlah bagaimana ia menghargai ibumu."
Ungkapan ini bukan sekadar nasihat, tetapi menjadi prinsip sosial yang melatih anak untuk menghargai nilai lebih daripada materi. Anak-anak juga diajarkan untuk tidak berkata kasar, tidak mengambil milik orang lain, dan selalu membantu tetangga. Petuah-petuah tersebut diperkuat melalui contoh nyata dari perilaku orang tua.
Selain keluarga inti, tetua adat (penyimbang adat) memiliki peran penting dalam mendidik masyarakat, terutama pada kegiatan adat seperti pertemuan komunitas, musyawarah, dan acara adat besar seperti pernikahan atau khitanan. Dalam acara-acara tersebut, tetua akan memberikan petuakh yang disampaikan secara lisan kepada generasi muda.
Tradisi ini merupakan bentuk tarbiyah (pendidikan) lokal yang mengedepankan budi pekerti, rasa hormat kepada yang lebih tua, dan tanggung jawab sosial.
Seorang tokoh masyarakat Lampung bernama Pangeran Surya Hadinata, yang berasal dari Way Kanan, dikenal sebagai tetua adat yang sangat dihormati. Dalam sebuah wawancara dengan cucunya, ia mengungkapkan bahwa ia tidak meninggalkan warisan berupa tanah atau rumah mewah, tetapi ia memastikan setiap cucunya mengenal falsafah hidup Lampung.
Ia sering mengumpulkan cucunya di malam hari dan membacakan cerita rakyat seperti "Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat", sembari mengaitkannya dengan realitas kehidupan. Salah satu petuahnya yang paling diingat adalah:
"Anak lelaki harus seperti bambu. Lembut bila ditiup angin, tapi teguh berdiri saat badai."
Petuah itu diucapkannya saat cucunya baru saja diterima kerja di luar kota. Sang cucu mengaku bahwa pesan tersebut menjadi penuntunnya dalam menghadapi tekanan hidup di perantauan.
Kakek Surya juga tidak pernah membiarkan satu haripun lewat tanpa mengajarkan salat, mengaji, dan berbuat baik kepada tetangga. Ia percaya bahwa pendidikan karakter sejati tidak datang dari sekolah saja, tetapi dari lingkungan keluarga yang memberi keteladanan langsung.
Hingga akhir hayatnya, sang kakek dihormati oleh masyarakat bukan karena kekayaannya, tetapi karena kebijaksanaan dan keteladanan yang diwariskannya. Inilah wujud nyata dari warisan nilai, bukan harta.
Konsep tarbiyah ruhaniyah dalam Islam mengacu pada pendidikan spiritual yang mengasah kepekaan jiwa, akhlak, dan iman. Pendidikan ini tidak bisa diajarkan melalui teori semata, tetapi melalui teladan hidup yang nyata. Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW menjadi contoh utama tarbiyah ruhaniyah, karena beliau mendidik sahabatnya tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan perbuatan.
Hal ini juga tercermin dalam praktik masyarakat Lampung yang menekankan keteladanan. Seorang anak belajar untuk berkata santun karena melihat ayahnya bersikap hormat kepada tetua. Seorang gadis belajar untuk sabar karena melihat ibunya tidak membalas cacian dengan emosi.
Masyarakat Lampung menganggap perilaku orang tua adalah cermin bagi anak-anak. Pepatah adat mengatakan:
"Tumbuh pohon karena biji, besar anak karena ajar orang tua."
Dengan kata lain, karakter tidak diwariskan secara biologis, tetapi dibentuk melalui proses pembelajaran dan peneladanan sejak dini. Hal ini selaras dengan hadis Rasulullah SAW: "Tiap kalian adalah pemimpin, dan tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya." (HR. Bukhari & Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa orang tua dan tetua adat memiliki amanah besar untuk membentuk generasi yang kuat secara moral dan spiritual. Mereka tidak hanya menjadi pelindung, tetapi juga pendidik dan panutan.
Adat istiadat masyarakat Lampung mengajarkan bahwa warisan sejati bukanlah kekayaan materi, tetapi nilai-nilai luhur yang tertanam dalam karakter generasi muda. Melalui tradisi petuah, keteladanan, dan pengasuhan berbasis spiritual, orang tua dan tetua adat memainkan peran penting dalam menanamkan moralitas, budi pekerti, dan tanggung jawab sosial.
Cerita seperti Kakek Surya Hadinata menjadi bukti nyata bahwa karakter dapat diwariskan lebih dalam daripada sebidang tanah. Nilai-nilai seperti kejujuran, keteguhan, kesantunan, dan kepedulian sosial adalah fondasi yang mengokohkan kehidupan bermasyarakat.
Adat Lampung tidak hanya berfungsi sebagai sistem sosial, tetapi juga sebagai mekanisme pendidikan informal yang sejalan dengan ajaran Islam. Tarbiyah ruhaniyah dan keteladanan menjadi roh dari adat ini, membentuk pribadi-pribadi yang berintegritas dan berakhlak mulia.
Dalam dunia yang semakin modern dan cenderung materialistik, masyarakat Lampung memberikan pelajaran penting: bahwa harta bisa habis, tetapi nilai akan terus hidup dari generasi ke generasi. ***
*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.
Source: nataragung.id