Serial Buku - Pi’il Pesenggikhi, Falsafah Hidup Orang Lampung Buku 1: Harga Diri dalam Harmoni Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

| 4x dilihat | Berita

Serial Buku - Pi’il Pesenggikhi, Falsafah Hidup Orang Lampung Buku 1: Harga Diri dalam Harmoni Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

jdih.lampungprov.go.id - BANDAR LAMPUNG - Masyarakat Lampung dikenal sebagai salah satu kelompok etnis di Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Salah satu konsep kunci dalam tatanan sosial budaya mereka adalah Pi'il Pesenggikhi, sebuah nilai adat yang mencerminkan kehormatan, harga diri, dan martabat yang melekat dalam interaksi sosial.
Nilai ini bukan sekadar bentuk kesopanan, melainkan landasan moral yang menjiwai kehidupan kolektif masyarakat Lampung. Dalam konteks modern, Pi'il Pesenggikhi tetap relevan, bahkan menjadi penyeimbang antara perkembangan zaman dan pelestarian jati diri budaya.
Artikel analitis ini akan membedah secara mendalam makna Pi'il Pesenggikhi, implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, serta hubungan eratnya dengan nilai-nilai keislaman, khususnya prinsip "la dharar wa la dhirar" (tidak merugikan dan tidak dirugikan).
Melalui pendekatan historis dan kultural, tulisan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman utuh mengenai bagaimana masyarakat Lampung mempertahankan keharmonisan sosial melalui penjagaan harga diri kolektif.

Pi'il Pesenggikhi berasal dari bahasa Lampung yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai "perasaan harga diri atau kehormatan yang tinggi". Namun, lebih dari itu, Pi'il Pesenggikhi adalah nilai moral yang menjadi patokan perilaku masyarakat Lampung dalam menjaga integritas pribadi, keluarga, dan komunitas. Nilai ini berakar dari filosofi hidup masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip kesantunan, solidaritas, dan kehormatan sosial.

Dalam struktur adat, Pi'il Pesenggikhi memengaruhi seluruh aspek kehidupan, dari cara berbicara, berpakaian, bersikap, hingga dalam pengambilan keputusan penting. Nilai ini ditanamkan sejak dini kepada generasi muda sebagai warisan budaya yang harus dijaga, karena ia menjadi ukuran keberadaban seseorang dalam masyarakat. Seorang yang melanggar prinsip Pi'il Pesenggikhi dianggap telah mencoreng nama baik keluarga dan marga, yang bisa menimbulkan konflik horizontal atau pengucilan sosial.

Secara fungsional, Pi'il Pesenggikhi mendorong setiap individu untuk selalu mempertimbangkan dampak sosial dari setiap tindakan. Ia mengajarkan pentingnya menahan diri, mengutamakan musyawarah, dan menjaga perasaan orang lain. Dalam masyarakat yang masih kuat dengan sistem kekeluargaan dan patron-klien, nilai ini menjadi instrumen penting dalam menjaga tatanan sosial agar tetap harmonis.

Implementasi Pi'il Pesenggikhi dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat dalam berbagai konteks. Misalnya, dalam acara pernikahan, keluarga besar akan berusaha semaksimal mungkin untuk menampilkan yang terbaik. Mereka rela mengeluarkan biaya besar demi menjaga nama baik keluarga di mata masyarakat. Ini bukan semata-mata tentang kemewahan, tetapi lebih kepada tanggung jawab sosial dalam menjaga martabat.

Dalam pergaulan sehari-hari, orang Lampung akan sangat berhati-hati dalam berbicara, menghindari kata-kata kasar atau tindakan yang dapat mempermalukan orang lain. Anak-anak dididik untuk menghormati orang tua, tetua adat, dan guru, sebagai cerminan dari internalisasi nilai Pi'il Pesenggikhi.
Contoh lain dapat ditemukan dalam dunia pendidikan dan pekerjaan. Seorang pelajar atau pegawai asal Lampung akan berusaha keras untuk tidak mengecewakan keluarganya. Kegagalan atau perilaku menyimpang dianggap bukan hanya mencoreng nama pribadi, tetapi juga keluarga dan suku. Maka, pencapaian prestasi dipandang sebagai bentuk pembelaan terhadap kehormatan kolektif.
Dalam situasi konflik, masyarakat Lampung diajarkan untuk tidak langsung mengumbar emosi atau mempermalukan lawan di depan umum. Mereka lebih memilih jalan damai atau menyelesaikan masalah secara adat, melalui mekanisme mediasi yang melibatkan tokoh adat. Ini mencerminkan kehati-hatian agar tidak terjadi kerusakan relasi sosial yang lebih luas.

Di sebuah desa di Kabupaten Lampung Barat, terjadi konflik antara dua pemuda yang berasal dari dua marga berbeda. Konflik ini bermula dari persoalan pribadi yang diperbesar oleh media sosial, hingga menimbulkan kegaduhan di kalangan masyarakat. Salah satu pemuda, sebut saja bernama Adit, memilih untuk tidak melanjutkan perselisihan tersebut ke ranah hukum, meski secara hukum ia memiliki dasar yang kuat untuk melaporkan lawannya.
Keputusan Adit bukan didasarkan pada kelemahan atau ketakutan, tetapi pada pertimbangan nilai Pi'il Pesenggikhi. Ia menyadari bahwa melanjutkan konflik hanya akan memperburuk hubungan antar-marga dan bisa menimbulkan konflik horizontal yang lebih luas. Dengan dukungan tokoh adat dan keluarganya, Adit memilih menyelesaikan masalah secara kekeluargaan melalui mediasi adat.
Langkah Adit mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Ia dianggap sebagai representasi pemuda Lampung yang memahami nilai-nilai luhur adat. Tindakannya bukan hanya meredakan ketegangan, tetapi juga menjadi teladan bagi generasi muda dalam menjunjung tinggi martabat tanpa mengorbankan prinsip keadilan. Kisah ini menjadi bukti bahwa Pi'il Pesenggikhi masih hidup dan berfungsi efektif dalam konteks kekinian.

Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Lampung memiliki pengaruh besar dalam membentuk karakter dan nilai-nilai sosial budaya mereka. Prinsip "la dharar wa la dhirar" yang berarti "tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain" sangat sejalan dengan esensi Pi'il Pesenggikhi.
Keduanya menekankan pentingnya menjaga harmoni sosial, menahan diri dari tindakan yang merugikan, dan mengedepankan keadilan serta musyawarah dalam menyelesaikan konflik.
Dalam konteks adat, prinsip ini diterjemahkan dalam bentuk sikap tidak semena-mena, tidak menyebarkan aib, dan tidak mempermalukan orang lain di depan umum.
Dalam hukum Islam, tindakan yang merugikan orang lain bisa dikategorikan sebagai perbuatan dzalim, yang dikecam keras. Dalam adat Lampung, hal ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap Pi'il Pesenggikhi.
Kolaborasi nilai Islam dan adat terlihat jelas dalam pelaksanaan acara adat seperti pernikahan, khitanan, atau penyelesaian sengketa. Acara-acara ini selalu diawali dengan doa bersama dan dilanjutkan dengan musyawarah, mencerminkan sinergi antara adat dan syariat. Bahkan dalam hukum adat, pendapat dari tokoh agama seringkali dijadikan rujukan moral untuk menguatkan keputusan adat.
Dengan demikian, Pi'il Pesenggikhi bukan hanya nilai budaya lokal, tetapi juga bisa dipahami sebagai manifestasi dari nilai-nilai universal yang dijunjung tinggi dalam Islam. Ia menjadi jembatan antara identitas etnis dan spiritualitas, antara adat dan agama, yang menyatu dalam praktik sosial masyarakat Lampung.

Pi'il Pesenggikhi adalah lebih dari sekadar norma sosial; ia adalah fondasi moral yang menjaga keharmonisan, solidaritas, dan integritas masyarakat Lampung. Dalam praktiknya, nilai ini membentuk kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga martabat pribadi dan kelompok, serta menjadi penyeimbang dalam menghadapi dinamika sosial modern.
Melalui contoh-contoh nyata dan korelasinya dengan nilai-nilai Islam, kita melihat bahwa Pi'il Pesenggikhi tetap relevan dan mampu menjadi solusi dalam menyelesaikan konflik secara damai dan bermartabat. Ia adalah refleksi dari identitas budaya yang kuat, yang mampu berdialog dengan nilai-nilai global tanpa kehilangan akar lokalnya.

Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, pelestarian Pi'il Pesenggikhi menjadi tanggung jawab bersama, terutama generasi muda, agar nilai luhur ini tidak hanya menjadi cerita masa lalu, tetapi tetap hidup sebagai prinsip kehidupan masa kini dan masa depan. ***

*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.
Source: nataragung.id