Serial Buku - Pi’il Pesenggikhi, Falsafah Hidup Orang Lampung. Buku 4: "Besan dan Balas Pantun, Adat yang Menyatukan" Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

| 12x dilihat | Artikel

Serial Buku - Pi’il Pesenggikhi, Falsafah Hidup Orang Lampung. Buku 4: "Besan dan Balas Pantun, Adat yang Menyatukan" Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

jdih.lampungprov.go.id - BANDAR LAMPUNG - Pernikahan dalam masyarakat Lampung bukan hanya tentang penyatuan dua insan, tetapi juga dua keluarga besar yang terikat dalam jalinan budaya, adat, dan nilai-nilai luhur. Di balik prosesi adat yang panjang dan penuh simbolisme, tersimpan ajaran sosial, budaya, dan spiritual yang diwariskan turun-temurun.

Perkawinan dalam adat Lampung melibatkan proses musyawarah, perundingan, dan saling menghormati, dengan harapan dapat membentuk ikatan yang tidak hanya sah secara hukum dan agama, tetapi juga kokoh secara sosial dan budaya.
Judul "Besan dan Balas Pantun: Adat yang Menyatukan" menyoroti dimensi unik dari tradisi pernikahan adat Lampung yang menekankan aspek komunikasi, kesopanan, dan keharmonisan antarkeluarga.
Proses seperti ngantat, jejuluk, sesan, dan serah-serahan merupakan tahapan sakral yang memperkuat rasa tanggung jawab, kesabaran, dan komitmen bersama.
Sebagai pelengkap spiritual, ayat dari Al-Qur'an Surah An-Nur ayat 32 memberikan kerangka religius bagi pentingnya pernikahan: "Nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu...". Ayat ini menegaskan bahwa pernikahan adalah ajaran universal yang harus ditempuh dengan niat baik dan cara terhormat, sebagaimana diimplementasikan dalam adat Lampung.

Tulisan ini akan menjabarkan secara rinci tahapan-tahapan adat perkawinan, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, kisah menyentuh tentang balas pantun antar besan, serta refleksi spiritual dan sosial yang menjadi landasan kuat bagi kelestarian adat pernikahan masyarakat Lampung.

Adat pernikahan dalam masyarakat Lampung, baik Pepadun maupun Saibatin, memiliki alur dan struktur yang sangat teratur. Meski terdapat perbedaan kecil antara subkultur, prinsip dasarnya tetap menekankan kehormatan, musyawarah, dan simbolik penyatuan yang sakral.
1. Ngantat : Ngantat adalah tahap awal dalam prosesi pernikahan, berupa kunjungan dari pihak laki-laki ke keluarga perempuan untuk menyatakan niat baik. Dalam kunjungan ini, keluarga laki-laki membawa utusan yang dihormati (sering disebut sebagai jurubicara adat) untuk menyampaikan maksud secara halus dan terhormat. Bahasa yang digunakan pun dipenuhi dengan kiasan dan pantun sebagai bentuk penghormatan.
Tujuan utama ngantat bukan sekadar menyampaikan niat, tetapi juga membuka ruang komunikasi antara dua keluarga yang sebelumnya tidak terikat hubungan formal.
Pada tahap ini, nilai-nilai kesopanan dan kerendahan hati sangat dijunjung.

2. Jejuluk : Setelah ngantat diterima, proses dilanjutkan dengan jejuluk, yaitu pemberian gelar adat kepada calon pengantin. Jejuluk dilakukan dengan upacara adat dan disaksikan oleh tokoh-tokoh masyarakat. Gelar ini tidak hanya simbol status dalam komunitas adat, tetapi juga mengandung harapan dan doa untuk kehidupan rumah tangga yang akan dijalani.

3. Sesan : Sesan adalah musyawarah resmi antarkedua keluarga yang membahas rincian prosesi pernikahan, termasuk waktu pelaksanaan, mas kawin (tunang), dan pembagian tanggung jawab acara. Di sinilah semangat musyawarah dan mufakat benar-benar diterapkan. Semua pihak berusaha mencapai kesepakatan dengan cara terbaik tanpa konflik, menjunjung tinggi asas kekeluargaan dan saling menghargai.

4. Serah-serahan : Serah-serahan adalah tahap penyerahan simbol-simbol adat dan mas kawin dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Barang-barang yang diserahkan sering kali meliputi kain tapis, perhiasan, makanan khas, serta barang-barang simbolik lain yang telah disepakati bersama. Acara ini biasanya diiringi dengan prosesi seni, termasuk balas pantun antar keluarga besan.

Adat pernikahan Lampung tidak hanya mementingkan aspek formal, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai moral yang membentuk karakter masyarakat.

Pertama adalah nilai kesabaran. Setiap tahap memerlukan waktu, tenaga, dan komitmen tinggi dari kedua belah pihak. Dalam menghadapi perbedaan pandangan atau keterbatasan sumber daya, keluarga diajak untuk tetap sabar dan tidak mempermalukan pihak lain.

Kedua adalah nilai kesepakatan. Prosesi sesan dan keputusan tentang waktu dan biaya pernikahan selalu diambil melalui musyawarah, bukan keputusan sepihak. Ini mencerminkan prinsip demokrasi lokal yang menjunjung mufakat dan anti-konflik.

Ketiga, kehormatan keluarga menjadi prinsip yang sangat dijaga. Setiap keluarga berusaha menampilkan diri secara pantas, baik dalam sikap, tutur kata, maupun simbol-simbol yang ditampilkan dalam upacara. Segala bentuk komunikasi dilakukan dalam bahasa yang santun dan penuh makna. Pantun-pantun yang dilontarkan pun sarat dengan pesan kearifan, nasihat, dan pujian.

Dalam salah satu pernikahan adat Lampung di daerah Tulang Bawang Barat, keluarga calon pengantin pria berasal dari komunitas adat Pepadun, sedangkan keluarga calon pengantin perempuan dari komunitas Saibatin. Meskipun memiliki perbedaan latar adat, keduanya menyepakati untuk melakukan prosesi lengkap sesuai kesepakatan bersama.

Pada acara serah-serahan, terjadi sesi balas pantun antar besan yang sangat menyentuh. Pantun dibawakan secara bergiliran oleh para tetua adat, dengan intonasi dan irama khas. Isinya tidak hanya berisi pujian terhadap calon pengantin dan keluarga, tetapi juga pesan tentang pentingnya menjaga cinta dan tanggung jawab dalam rumah tangga.

Salah satu pantun yang membuat hadirin terharu berbunyi:
"Tapis bersulam benang perak, Diangkat tinggi penuh hormat, Dua keluarga kini sepakat, Bersatu dalam cinta yang hikmat."

Pantun dibalas oleh pihak besan perempuan:
"Jangan dilupa akar dan daun, Walau tumbuh di tanah berbeda, Kita bersaudara bukan setahun, Tapi selamanya, dalam suka duka."
Air mata haru menetes, bukan hanya karena keindahan kata, tetapi juga karena makna persatuan yang begitu dalam di balik pantun tersebut. Ini menjadi bukti bahwa adat bukan sekadar ritual, tapi juga sarana ekspresi cinta dan kehormatan.

Dalam ajaran Islam, pernikahan adalah ibadah yang dianjurkan. Surah An-Nur ayat 32 berbunyi: "Nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya."

Ayat ini memperkuat dasar spiritual bahwa pernikahan adalah jalan untuk membentuk masyarakat yang sehat dan bertanggung jawab.

Dalam konteks adat Lampung, pelaksanaan pernikahan tidak hanya mematuhi kaidah agama, tetapi juga memperkuat relasi sosial dalam struktur adat.

Adat dan agama berjalan seiring. Nilai kesepakatan (mufakat), kasih sayang, dan tanggung jawab yang ditanamkan dalam adat sejalan dengan prinsip pernikahan dalam Islam. Proses musyawarah, serah-serahan, dan pemberian jejuluk juga bisa dipahami sebagai bagian dari akad sosial yang mendukung tujuan pernikahan: ketenteraman, cinta, dan rahmat.

Adat pernikahan masyarakat Lampung adalah warisan budaya yang sangat kaya dan sarat nilai-nilai luhur. Melalui tahapan seperti ngantat, jejuluk, sesan, dan serah-serahan, tersampaikan pesan-pesan moral seperti kesabaran, kesepakatan, dan penghormatan antar keluarga. Selain itu, seni berbalas pantun menjadi alat komunikasi kultural yang membangun keakraban dan menyentuh batin. Proses ini tidak hanya memperkuat ikatan dua individu, tetapi juga menyatukan dua keluarga besar secara sosial dan spiritual.

Tradisi ini tetap relevan bahkan dalam era modern karena nilai-nilai yang dikandungnya bersifat universal dan transenden.
Sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-Nur: 32, pernikahan adalah jalan suci yang harus ditempuh dengan cara yang baik dan terhormat. Budaya Lampung menjadikan prinsip ini sebagai bagian dari adat, menunjukkan bahwa adat dan agama dapat bersinergi untuk membangun masyarakat yang harmonis dan bermartabat. ***

*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.

Source: nataragung.id