Serial Buku - Pi’il Pesenggikhi, Falsafah Hidup Orang Lampung Buku 2: "Sembah Rasa, Sopan dalam Bahasa" Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

| 18x dilihat | Artikel

Serial Buku - Pi’il Pesenggikhi, Falsafah Hidup Orang Lampung Buku 2: "Sembah Rasa, Sopan dalam Bahasa" Oleh : Mohammad Medani Bahagianda *)

jdih.lampungprov.go.id - BANDAR LAMPUNG - Masyarakat Lampung adalah komunitas adat yang kaya akan nilai-nilai luhur dalam setiap aspek kehidupan. Salah satu fondasi penting yang membentuk struktur sosial dan spiritual masyarakat Lampung adalah etika tutur kata. Dalam budaya ini, berbicara bukan sekadar menyampaikan pesan, melainkan juga mencerminkan budi pekerti, kedalaman rasa hormat, dan nilai-nilai spiritual yang terinternalisasi sejak dini.
Ungkapan-ungkapan adat, penggunaan gelar, dan struktur sapaan menjadi instrumen budaya yang tidak hanya menunjukkan sopan santun, tetapi juga menjaga harmoni dalam relasi sosial, khususnya antar generasi.
Subtema "Etika Tutur Kata dan Penghormatan Antar Generasi" menjadi penting untuk dikaji karena saat ini masyarakat Indonesia, termasuk generasi muda Lampung, menghadapi tantangan globalisasi dan disrupsi budaya.

Dalam konteks ini, memahami dan merevitalisasi nilai-nilai luhur adat, seperti kehati-hatian dalam berbicara dan penghormatan kepada yang lebih tua, menjadi semakin relevan. Praktik-praktik ini tidak hanya memiliki akar sosial dan budaya, tetapi juga spiritual, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Isra': 53, “Ucapkanlah perkataan yang baik kepada manusia.”

Tulisan ini akan mengurai struktur sapaan dan gelar dalam budaya Lampung, bagaimana latihan sopan santun ditanamkan dalam lingkungan keluarga dan komunitas, serta dalam bagaimana anak rantau Lampung menjaga etika bahasa di tengah tantangan perantauan. Dengan pendekatan kultural, sosial, dan spiritual, tulisan ini menjadi jembatan untuk memahami nilai-nilai luhur masyarakat Lampung dalam menjaga harmoni sosial melalui bahasa.

Dalam masyarakat Lampung, struktur bahasa sangat dipengaruhi oleh kedudukan sosial, usia, dan hubungan kekerabatan. Struktur sapaan dan penggunaan gelar adat menjadi penanda penting dalam berinteraksi. Gelar-gelar adat tidak hanya menyatakan identitas, tetapi juga digunakan untuk menunjukkan rasa hormat dan mengetahui posisi seseorang dalam tatanan sosial.

Beberapa gelar yang umum dikenal antara lain:
* Radin dan Minak untuk laki-laki bangsawan,
* Nai atau Mas untuk perempuan,
* Sutan, Depati, dan Kimas sebagai gelar kehormatan dalam struktur adat tertentu,
* Pangeran, Tuan, dan Ratu untuk struktur aristokrasi lama,
* Sapaan Pak, Bu, Kakak, Adik, Uwak, Nini untuk struktur kekeluargaan dan penghormatan sosial.

Sapaan dan gelar ini disesuaikan dengan konteks interaksi, termasuk dalam forum resmi adat (pepung adat), pernikahan, atau penyambutan tamu.

Ketepatan dalam penggunaan sapaan adalah bentuk kesopanan, dan kesalahan dalam penggunaannya bisa dianggap sebagai pelecehan terhadap adat.

Dalam konteks sehari-hari, masyarakat Lampung terbiasa menyapa orang yang lebih tua dengan ungkapan hormat seperti “Nini,” “Uwak,” atau “Yang Tuha,” disertai ucapan dengan nada rendah dan lembut. Kesantunan dalam berbicara ini dijaga secara konsisten dan diwariskan lintas generasi.

Pendidikan etika tutur kata dimulai sejak usia dini, melalui pendidikan informal dalam keluarga. Orang tua dan tetua menjadi teladan utama dalam mendidik anak-anak berbicara dengan sopan dan sesuai norma adat.

Dalam budaya Lampung, seorang anak akan ditegur dengan halus namun tegas apabila berbicara sembarangan atau tidak menggunakan sapaan yang tepat.
Di lingkungan keluarga, praktik-praktik ini terlihat dalam:
* Penggunaan sapaan yang konsisten dalam komunikasi harian.
* Pelarangan mengangkat suara kepada orang tua atau tetua.
* Pemberian contoh oleh orang tua dalam berbicara yang lemah lembut.
* Kegiatan cerita malam (mitos, kisah leluhur) yang menjadi media pembelajaran nilai sopan santun.

Dalam komunitas, pelatihan ini dilanjutkan melalui interaksi sosial. Anak-anak yang ikut dalam kegiatan adat seperti begawi (upacara adat), pepung adat, dan musyawarah diajak untuk menyimak dan kemudian berlatih menggunakan bahasa yang santun.

Pada saat tertentu, mereka juga diberi peran kecil dalam forum adat untuk melatih penggunaan bahasa yang benar dan penuh hormat.
Pelatihan ini bersifat kolektif. Dalam masyarakat adat, setiap orang dewasa memiliki tanggung jawab mendidik anak-anak yang berbicara tidak sopan. Sikap ini bukan bentuk intervensi, melainkan komitmen sosial menjaga nilai adat yang tertanam kuat.

Kisah inspiratif datang dari seorang pemuda Lampung bernama Rizky, yang merantau ke Yogyakarta untuk menempuh pendidikan. Dalam lingkungan kos dan pergaulan antar mahasiswa, Rizky dikenal sebagai pribadi yang santun dan berhati-hati dalam berbicara. Ia tidak pernah memanggil teman lebih tua dengan nama saja, selalu menambahkan “Mas” atau “Mbak”, dan berbicara dengan nada rendah serta bahasa yang terkontrol.

Ketika ditanya mengapa demikian, Rizky menjelaskan bahwa sejak kecil ia dibiasakan oleh orang tuanya untuk selalu menjaga etika bicara. Menurutnya, perkataan yang kasar atau sembarangan bukan hanya mencerminkan pribadi yang tidak beradab, tetapi juga mencoreng nama baik keluarga dan sukunya.

Ia juga mengisahkan saat diundang menjadi pembicara dalam diskusi kampus, ia membuka pidato dengan bahasa adat Lampung sebagai bentuk penghormatan kepada budaya asalnya. Hal ini mengundang kekaguman dari banyak mahasiswa lain yang merasa bahwa Rizky memiliki karakter yang kuat dan berakar pada budaya lokalnya.

Rizky menjadi contoh nyata bagaimana nilai-nilai adat Lampung tetap dapat dipraktikkan dengan konsisten bahkan dalam konteks yang jauh dari lingkungan budaya asalnya. Ia membuktikan bahwa nilai sopan santun dalam bahasa adalah warisan yang bisa menjadi identitas positif di mana pun berada.

Islam sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat Lampung memberikan landasan spiritual yang kokoh dalam etika berbicara. QS. Al-Isra’: 53 menegaskan, “Ucapkanlah kepada manusia perkataan yang lebih baik...” (wa qul li al-nāsi ḥusnan).

Ayat ini memperkuat nilai adat yang menekankan kesantunan dan kehalusan dalam berkomunikasi.
Dalam tafsir Ibn Katsir, ayat ini ditafsirkan sebagai perintah untuk berbicara dengan lemah lembut, menghindari kata-kata yang menyakitkan hati, dan memperhatikan kondisi psikologis lawan bicara.
Tafsir ini sangat sejalan dengan praktik etika berbicara masyarakat Lampung yang menghindari konfrontasi verbal dan lebih memilih musyawarah dalam menyampaikan pendapat.

Dalam pengajian dan pendidikan agama di desa-desa Lampung, ayat ini sering dikaitkan langsung dengan nilai-nilai adat. Para ustaz atau tokoh agama menekankan bahwa adat dan agama tidak bertentangan, bahkan saling memperkuat. Kesantunan dalam berbicara bukan hanya norma budaya, tetapi juga perintah Tuhan.

Dengan demikian, adat Lampung tidak bisa dilepaskan dari nilai spiritualitas Islam. Ia menjadi sinergi harmonis antara budaya dan agama yang memperkaya karakter masyarakat.

Etika tutur kata dalam budaya Lampung merupakan warisan luhur yang berakar pada nilai sosial, budaya, dan spiritual yang sangat dalam. Melalui struktur sapaan dan gelar adat, masyarakat Lampung membangun sistem interaksi sosial yang beretika, penuh penghormatan, dan menjaga keharmonisan antar generasi. Pendidikan sopan santun dilakukan sejak dini dalam lingkungan keluarga dan diperkuat dalam komunitas.

Kisah nyata anak rantau menunjukkan bahwa nilai-nilai ini bisa tetap dipertahankan bahkan di luar tanah kelahiran, menjadi identitas yang membanggakan sekaligus menjadi inspirasi lintas budaya. Dalam kerangka spiritual, etika berbicara dalam budaya Lampung memiliki koherensi yang erat dengan nilai-nilai Islam sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Isra’: 53.

Menjaga adat etika berbicara bukan hanya melestarikan budaya, tetapi juga menjaga peradaban, martabat, dan harmoni sosial. Di tengah arus modernisasi dan kemunduran sopan santun dalam kehidupan publik, nilai-nilai ini perlu terus diajarkan, diwariskan, dan dimaknai ulang agar tetap relevan dan menjadi cahaya dalam kehidupan berbangsa dan berbudaya. ***

*) Penulis Adalah Saibatin dari Kebandakhan Makhga Way Lima. Gelar Dalom Putekha Jaya Makhga, asal Sukamarga Gedungtataan, Pesawaran. Tinggal di Labuhan Ratu, Bandar Lampung.

Source: nataragung.id